Laman

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Saturday 31 March 2012

Mempertanyakan Agenda Pembangunan di Negara Berkembang


Peningkatan teknologi dan pengetahuan menyakiti bumi yang semakin menua. Bumi berontak manusia menangis. Ada apa dengan agenda pembangunan?


Tak perlu menafikan bahwa perkembangan sebuah jaman membuat tuntutan manusia terhadap sebuah perubahan kearah yang lebih baik menjadi semakin besar, hal itu muncul karena didukung oleh meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Bersamaan dengan berjalannya abad ke-20 dan teknologi menciptakan alat dengan kekuatan yang luar biasa dan berpotensi menghancurkan, makin banyak orang terdidik dan ilmuwan yang mengingatkan bahwa manusia sebenarnya menempatkan diri sendiri di dalam keadaan yang sangat berbahaya akibat eksploitasi berlebihan dan merusak alam. Banyaknya masalah pembangunan tersebut menyebabkan kerusakan ekosistem yang ada di bumi dalam beberapa tahun terakhir ini sehingga menyebabkan isu lingkungan hidup menjadi agenda internasional.

Agenda Penyelamatan Bumi
Puncak dari agenda tersebut adalah diselenggarakannya KTT Rio (Earth Summit) yang diadakan di Rio de Janeiro-Brazil pada Tahun 1992 yang diikuti oleh 115 kepala negara dan kepala pemerintahan. Meskipun tidak mencapai sebuah kesepakatan yang pasti, KTT Rio tetaplah menghasilkan sebuah wacana bahwa negara maju mengalokasikan 0,7 persen dari PNB mereka untuk bantuan pembangunan yang resmi maupun tentang polusi lintas batas, pengembangan hukum pertanggungjawaban lingkungan, penerapan “prinsip kehati-hatian” yang mensyaratkan bahwa ancaman lingkungan haruslah ditangani meskipun tidak ada bukti yang konklusif dan prinsip si pencemar harus membayar.

Sementara jika berbicara mengenai konsep pembangunan berkelanjutan maka pembangunan yang berlangsung pada masa kini akan tetapi tidak mengurangi kebutuhan untuk generasi berikutnya. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini digunakan secara tepat dan manfaat tanpa membiarkan generasi masa depan kekurangan sumber daya tersebut. Konsep ini bagus namun tak berjalan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan berbagai kendala dan semakin diperparah dengan masuknya era globalisasi dan neoliberalisme yang menyebabkan perusahaan dan industri swasta semakin berkembang dan banyak membuka usaha di negara-negara berkembang dan mereka secara besar-besaran terus memproduksi barang-barang dan secara potensial merusak lingkungan. Sehingga untuk membentuk pembangunan yang ramah akan lingkungan menjadi hal yang sangat sulit untuk dilakukan karena produksi yang dilakukan menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan lainnya.

Praktek perekonomian Vs Perusakan Bumi
Di lain pihak, praktek ekonomi sekarang baik di negara kaya maupun negara miskin demi alasan yang berbeda namun saling menguatkan, sama-sama menyusuri jalan menurun ke arah malapetaka. Negara industri di Utara, konsumsi berlebihan dan makin cepat atas barang yang dihasilkan melalui teknologi yang sering membahayakan dan menghabiskan bahan mentah serta energi juga merupakan wadah untuk menyerap polusi seperti udara dan atmosfer, sungai, danau dan lautan, dengan kecepatan yang dapat mengakibatkan malapetaka di masa depan tak dapat diramalkan. Hal inilah yang biasanya disebut dengan global warming.

Di Indonesia sendiri, Sejak Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF pada Tahun 1997, praktek neoliberalisme semakin terasa dampaknya bagi perkembangan pembangunan di Indonesia. Akibat dari hal tersebut maka penghapusan batasan kepemilikan saham bagi investor asing. Oleh karena itu modal internasional pun dengan leluasa masuk ke Negara Indonesia untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam maupun manusia serta dapat mengambil alih pasar-pasar tradisional karena seperti yang kita ketahui dengan banyaknya investor asing yang menguasai sebagaian besar sektor di Indonesia seperti pendirian supermarket, kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk mengunjungi tempat tersebut dibanding pasar-pasar tradisional terlebih lagi bagi mereka yang memiliki kelebihan modal. Hal tersebut membuat keuntungan yang diterima tidak mengalir ke negara akan tetapi mengalir ke pemodal asing. Dampak lain dari kebijakan neoliberalisme ini adalah perekonomian dalam sektor pertanian semakin terpuruk karena permasalahan kepemilikan tanah (agraria) yang tergusur maupun efek pengalihan lahan untuk kegiatan industri maupun pertambangan. Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani baik sebagai pemilik maupun sebagai buruh tani.

Kegiatan industri di Indonesia sendiri banyak berpusat pada penggunaan lahan hutan. Akibat kepemilikan lahan hutan tersebut Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 terdapat 11 perusahaan pertambangan yang diberi hak melakukan penambangan di area hutan lindung. Perusahaan itu adalah
a. PT Freeport Indonesia mendapat jatah 202.380 ha areal hutan lindung di Papua
b. PT Inco Tbk menguasai 218.828 ha di Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan
c. PT Aneka Tambang memiliki seluas 39.040 ha di Maluku dan 14.570 ha di Sulawesi Utara
d. PT Indominco Mandiri menguasai seluas 25.121 ha di Kalimantan Timur
e. PT Natarang Mining mendapatkan seluas 12.790 ha di Lampung
f. PT Nusa Halmahera Minerals di Maluku Utara seluas 29.622 ha
g. PT Pelsart Tambang kencana seluas 201.000 ha di Kalimantan Selatan
h. PT Interex Sacra Raya seluas 13.650 ha di Kalimantan timur dan Kalimantan Selatan
i. PT Weda Bay Nickel seluas 76.280 ha di Maluku Utara
j. PT Gag Nickel di Papua seluas 12.138 ha
k. PT Sorikmas Mining seluas 66.200 ha di Sumatera Utara.

Dapat dicontohkan Provinsi Kalimantan Timur data per Januari 2012 menunjukkan bahwa luasan lahan kritis sudah mencapai 8.101.309 hektare, sehingga harus mendapat perhatian khusus karena kerusakan lahan berada di kawasan hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap. Selain itu Dasar sungai Mahakam mengalami pendangkalan antara 2-3 centimeter pertahunnya. Sungai Mahakam setiap tahun menerima sedimentasi seberat 28 juta ton material. Jadi diperkirakan bahwa Kota Samarinda akan tenggelam di 15 sampai 20 tahun mendatang. Hal tersebut semakin diperparah dengan mudahnya pemberian ijin usaha pertambangan oleh pemerintah daerah setempat maupun relasi antara penguasa (pemilik lahan) dan pengusaha sehingga pengusaha tambang memiliki ijin menggunakan lahan tersebut kegiatan pertambangan. Akibatnya terdapat kecenderungan yang membenarkan adanya tolok ukur yang berbeda dalam menentukan kelayakan ganti rugi untuk tanah yang diperlukan. Selain itu lembaga yang ada bukan sebagai wahana mengaktualisasikan kepentingan pemilik tanah melainkan lebih mengabdi kepada kepentingan pengusaha.

Akibat yang ditimbulkan dari dipermudahnya ijin usaha tambang adalah
- terdapatnya pengalihan fungsi lahan yang digunakan untuk petani sebagai sumber mendapatkan penghasilan semakin berkurang sehingga dapat menambah angka kemiskinan
- tak segeranya pelaksanaan reklamasi (perbaikan lahan setelah menambang) mengakibatkan hilangnya nyawa warga
- banjir karena buruknya drainase maupun daya serap permukaan tanah di suatu area tidak mampu menerima debit air yang masuk di Samarinda dan menipisnya keberlangsungan hutan di Samarinda
- usaha pertambangan yang menggunakan lahan pertanian dapat mengakibatkan pencemaran yang dapat berakibat pada kesehatan warga karena lahan pertanian pastilah di daerah pedesaan dan dekat dengan perkampungan masyarakat.

Ijin tersebut susah untuk dikendalikan oleh pusat dikarenakan berdasarkan UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 14 menyatakan bahwa Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan sehingga segala hal yang dilakukan seperti pertambangan dilakukan oleh daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Jika ijin pertambangan banyak maka kesejahteraan masyarakat sekitar seharusnya dapat meningkat karena makin banyaknya perusahaan yang didirikan dapat menampung banyak tenaga kerja. Akan tetapi data dari bps Samarinda jumlah pencari kerja dari 2008 – 2009 mengalami peningkatan yakni dari 4.910 meningkat menjadi 13.361. Sehingga dari data tersebut jumlah penggangguran dapat dikatakan meningkat.
Sehingga pemerintah mengupayakan penyelamatan dengan membentuk Tim evaluasi renegosiasi kontrak karya pertambangan batubara yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ada tiga catatan menyangkut evaluasi kontrak karya pertambangan batubara. Pertama, soal bagi hasil penerimaan untuk pemerintah di sektor pertambangan batubara. Kedua, menyangkut masalah lingkungan. Ketiga, persoalan dengan masyarakat sekitar pertambangan. Maupun menerbitkan peraturan presiden yang ditandatangani pada 5 Januari 2012, merupakan turunan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang yang secara garis besar membicarakan bahwa Pemerintah akan mengalokasikan sedikitnya 45% wilayah Kalimantan sebagai paru-paru dunia, sebagai salah satu upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020.

Upaya penyelamatan terhadap lingkungan tidak akan berjalan lebih baik jika tidak dibarengi dengan peran pemda setempat terkait pengetatan IUP, sikap tegas pemda terhadap perusahaan yang melanggar maupun terkait AMDAL. Oleh karena itu diperlukan kerjasama antara pusat, daerah, pengusaha maupun masyarakat.

Sumber:

Notonagoro, Wisnu HKP. 2011. Neoliberalisme Mencekam Indonesia: IMF, World Bank, WTO Sumber Bencana Ekonomi Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jenderal Gerakan Kebangsaan Rakyat Semesta

Rakhmad Bowo Suharto. 2001. Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya Alam. Yogyakarta: PT Tiara Wacana

Shabecoff, philip. 2000. Sebuah nama baru untuk perdamaian: Environmentalisme, internasional, pembangunan berkelanjutan dan demokrasi. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Sugandhy, Aca dan Rustam Hakim.2009. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara

Yusriadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah. Yogyakarta: Genta Publishing

Winarto, Yudho. 2012. Pemerintah bidik kontrak perusahaan tambang batubara besar, Diakses pada tanggal 15 Januari 2012 Dari kontan.co.id

Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, Samarinda Dalam Angka, Samarida: BPS, 2010 diakses dari bpssamarinda.netai.net

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

No comments: