Laman

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Saturday 5 May 2012

Perkembangan Liberalisasi

Liberalisasi menyebabkan pengaruh besar di dalam segala aspek kehidupan suatu negara. Aspek tersebut tak hanya menyangkut aspek ekonomi seperti menyangkut kesejahteraan akan tetapi mempengaruhi juga aspek sosial seperti gaya hidup masyarakat. Liberalisasi lahir dari paham liberalisme yang mengutamakan sebuah kebebasan dalam kehidupan baik ekonomi, politik maupun sosial masyarakat.

Sejarah Liberalisasi

Dalam Buku karangan Wisnu HKP Notonagoro (2011, 11-17) dijelaskan bahwa Liberalisasi merupakan konsep ekonomi yang dijabarkan oleh ekonom asal Inggris, Adam Smith dalam bukunya bertajuk An Inquiry Into The Nature And The Causes Of The Wealth Of Nations dan luar biasa pengaruhnya. Sistem ini sempat menjadi dasar bagi ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dari periode 1800-an hingga masa kejatuhannya pada periode krisis besar (Great depression) pada tahun 1930.
Sistem ekonomi yang menekankan penghapusan intervensi pemerintah ini mengalami kegagalan mengatasi krisis ekonomi besar-besaran yang terjadi saat itu. Dalam buku tersebu, Smith menggambarkan pengenalannya tentang kenyataan hidup, sebagaimana yang dikutip oleh Kwik Kian Gie, manusia adalah homo economicus yang senantiasa mengejar kepentingannya sendiri guna memperoleh manfaat atau kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa saja yang dimilikinya. Jika karakter manusia yang egosentris dan individu dualistis seperti ini dibiarkan tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang efisien dari faktor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan, daya inovasi dan kreasi berkembang sepenuhnya.

Alasan utama Smith melarang intervensi pemerintah adalah doktrin invisible hands. menurut doktrin ini kebebasan (freedom), kepentingan diri sendiri (self interest) dan persaingan (competition) akan menghasilkan masyarakat yang stabil dan makmur. upaya individu untuk merealisasikan kepentingan dirinya sendiri bersama jutaan individu lainnya akan dibimbing oleh “tangan tak terlihat”. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya maka secara sadar atau tidak, individu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik. Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme) maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan. Menurut Smith hal itu berproses sebagai berikut: jika ada barang dan jasa yang harganya tinggi sehingga memberikan laba yang sangat besar (laba supernormal) kepada para produsennya, banyak orang akan tertarik memproduksi barang yang sama. Akibatnya suplay meningkat dan ceteris paribus harga turun. Kalau harga turun sampai di bawah harga pokok, ceteris paribus suplay menyusut karena harga meningkat lagi. Harga akan berfluktuasi tipis dengan kisaran yang memberikan laba yang sepantasnya saja (laba normal) bagi para produsen. Hal yang sama berlaku buat jasa distribusi.

Menurut Hobhouse (2009: 24), teori Laissez Faire diasumsikan bahwa negara seperti mencengkeram cincin. Hal tersebut menekankan pada kekerasan dan penipuan, harta milik tetap aman dan membantu orang-orang dalam menegakkan kontrak, pada kondisi yang terjadi saat ini, hal tersebutlah yang dikelola dimana orang harus menjadi sangat bebas untuk saling bersaing satu sama lain sehingga mereka harus memiliki energi terbaik yang dikeluarkan sehingga setiap orang merasa dirinya sendiri yang harus bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri dan mengerahkan kedewasaan dengan maksimal.

Dalam konsep ekonomi liberal diyakini bahwa pasar memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus kedalam depresi besar pada tahun 1930-an kepercayaan terhadap ekonomi liberal merosot secara drastis yang ditandai dengan terjadinya pengangguran dan pengangguran secara massal tetapi juga bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.

Teori ekonomi yang disampaikan oleh Smith tersebut tampak ideal namun kenyataannya berbicara lain. Ketika buku itu diterbitkan tahun 1776, hampir semua barang adalah komoditas yang homogeny (staple producten) seperti gandum, gula, garam dan katun. Lambat laun daya inovasi dan daya kreasi dari beberapa produsen berkembang. Ada saja diantara para produsen barang sejenis yang lebih pandai sehingga mampu melakukan diferensiasi produk sehingga konsumen percaya dan bersedia membayar mahal. Produsen bisa memperoleh laba tinggi tanpa saingan untuk jangka waktu yang cukup lama. Selama itu, dia menumpuk laba tinggi (laba supernormal) yang menjadikannya kaya. Karena semuanya dibolehkan tanpa pengaturan oleh pemerintah maka mulai terjadi persaingan dengan cara kotor. Yang digambarkan Adam Smith mulai tidak berlaku lagi. Pengusaha mulai mempekerjakan manusia dengan gaji dan lingkungan kerja diluar perikemanusiaan. Puncaknya terjadi dalam era revolusi industri, yang antara lain mengakibatkan anak-anak dan wanita hamil dipekerjakan di tambang-tambang. Perempuan melahirkan dalam tambang dibawah permukaan bumi. Mereka juga dicambuki bagaikan binatang. Dalam era itu seluruh dunia mengenal perbudakan karena pemerintah tidak boleh campur tangan melindungi buruh.

Dalam kondisi seperti itu lahirlah gugatan dari Karl Marx. Salah satu karya yang terkenal dalam menentang Adam Smith adalah Das Capital yang terbit tahun 1848. Marx berkesimpulan untuk membebaskan penghisapan manusia oleh manusia, tidak boleh ada orang yang mempunyai modal yang dipakai untuk berproduksi dan berdistribusi dengan maksud memperoleh laba. Semua harus dipegang oleh negara dan setiap orang adalah pegawai negeri. Dunia terbelah menjadi dua yakni penganut konsep ekonomi Karl Marx dan sistem komunisme ala Marx-lenin-Mao. Dunia Barat mengakui sepenuhnya kebenaran Karl Marx tetapi tidak mau membuang mekanisme pasar dan kapitalisme sehingga dampaknya diperkecil melalui berbagai peraturan dan pengaturan. Oleh karena itu capital harus berfungsi sosial sehingga kadar campur tangan pemerintah sangat bervariasi dari yang sangat minimal hingga besar. Orang-orang yang menganut paham bahwa campur tangan pemerintah haruslah sekecil mungkin adalah kaum neolib. Mereka tidak bisa mengelak terhadap campur tangan pemerintah sehingga tidak bisa lagi mempertahankan liberalisme mutlak dan total tetapi harus militan mengerdilkan pemerintah untuk kepentingan korporatokrasi.


Berkembangnya Neoliberalisme dan Dominasi Korporasi

Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal, pada September 1932 sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rostow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon. Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme. Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan PBB di Bretton Woods, AS pada 1944 untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes. Selanjutnya sistem liberal digantikan oleh gagasan dari ekonomi Keynesian yang digunakan oleh Presiden Roosevelt dalam kebijakan “New Deal”. Keynesianisme atau ekonomi Keynesian atau teori Keynesian adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes. Teori ini mempromosikan suatu ekonomi campuran yaitu baik negara maupun sektor swasta memegang peranan penting. Kebangkitan ekonomi Keynesianisme menandai berakhirnya ekonomi laissez-faire, suatu teori ekonomi yang berdasarkan pada keyakninan bahwa pasar dan sektor swasta dapat berjalan sendiri tanpa campur tangan negara.Pada awal 1980-an, menyusul terpilihnya Ronald Reagan sebagai presiden AS dan Tatcher sebagai perdana menteri, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Selanjutnya terkait dengan negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir tahun 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen keuangan AS bekerja sama dengan IMF merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington (Wisnu, 2011: 17-19).

Adapun sepuluh ajaran yang dilahirkan dari the Washington Concensus tersebut adalah sebagai berikut:

  1. disiplin fiskal, yang intinya adalah memerangi defisit perdagangan;
  2. public expenditure atau anggaran pengeluaran untuk publik, kebijakan ini berupa memprioritaskan anggaran belanja pemerintah melalui pemotongan segala subsidi;
  3. pembaharuan pajak, seringkali berupa pemberian kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pembayaran pajak
  4. liberalisasi keuangan, berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar
  5. nilai tukar uang yang kompetitif, berupa kebijakan untuk melepaskan nilai tukar uang tanpa kontrol pemerintah
  6. trade liberalisation barrier, yakni kebijakan untuk menyingkirkan segenap hal yang menganggu perdagangan bebas, seperti kebijakan untuk mengganti segala bentuk lisensi perdagangan dengan tarif dan pengurangan bea tarif
  7. foreign direct inuestment, berupa kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang menghambat pemasukan modal asin
  8. privatisasi, yakni kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada pihak swasta
  9. deregulasi kompetisi
  10. Intellectual Property Rights atau paten (Mansour Fakih, 2004: 4).
Secara lebih spesifik, menurut Mansour Fakih (2004: 4-5) pokok-pokok pendirian neo-liberal meliputi beberapa hal. Pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang-bidang perburuhan, investasi, dan harga, serta biarkan mereka mempunyai ruang untuk mengatur diri sendiri untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan, seperti Otorita Batam, NAFTA (North American Free Trade Agreement), SIJORI (Singapore, Johor, and Riau), dan lain sebagainya. Kedua, hentikan subsidi negara kepada rakyat, karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip neo-liberal tentang jauhkan campur tangan pemerintah, juga bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Oleh karena itu, pemerintah juga harus melakukan privatisasi semua perusahaan milik negara, karena perusahaan negara pada dasamya dibuat untuk melaksanakan subsidi negara pada rakyat, dan itupun menghambat persaingan bebas. Ketiga, hapuskan ideologi 'kesejahteraan bersama' dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat 'tradisional'. Paham kesejahteraaan dan pemilikan bersama mereka menghalangi pertumbuhan. Akibat dari prinsip tersebut adalah serahkan 'manajemen' sumber daya alam pada ahlinya, dan bukan kepada masyarakat 'tradisional' (sebutan bagi masyarakat adat) yang tidak mampu mengelola sumber daya alam secara efisien dan efektif.



Jeratan Liberalisasi di Indonesia

Perdagangan bebas merupakan salah satu mekanisme liberalisasi dalam menciptakan kesejahteraan. Kepercayaan akan perdagangan bebas dalam membawa kemakmuran selalu dirujukkan kepada keberhasilan ekonomi negara-negara industri yang melakukan perdagangan dalam skala massif sehingga membuahkan keuntungan yang besar (Zain Maulana, 2010: 31). Dengan adanya perdagangan bebas tersebut maka diharapkan kekurangan produksi dalam negeri mampu ditutupi oleh produksi luar negeri. Akan tetapi hal tersebut membawa pengaruh negatif kepada negara yang sektor produksinya agraris sehingga mau tidak mau bergantung pada produksi asing.

Di Indonesia sendiri liberalisasi ekonomi mulai tampak sejak orde baru. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran karena

peranan negara sebagai regulator ekonomi dikurangi

peranan sektor negara dan koperasi relatif menurun berhadapan dengan sektor swasta.

liberalisasi ekonomi bisa memberi jalan bagi masuknya kekuatan ekonomi asing yang mendominasi perekonomian di Indonesia

liberalisasi bisa menimbulkan kesenjangan yang makin lebar antar pelaku ekonomi dan perekonomian rakyat.

Pada waktu itu liberalisasi dilakukan sebagai anti thesis terhadap etatisme yang dominan dimasa ekonomi terpimpin. Liberalisasi dilakukan pertama di bidang perdagangan dengan membuka impor terhadap barang-barang konsumsi. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memperbanyak pasokan bahan-bahan konsumsi khususnya sandang dan pangan dalam rangka memenuhi tritura (tiga tuntutan rakyat). Kedua adalah liberalisasi di bidang penanaman modal dengan mengeluarkan UU PMA Nomor 1 Tahun 1967 dan UU PMDN Nomor 1 Tahun1968. Kebijakan ini mengawali pelaksanaan Repelita I (1969/1970 – 1973/1974). Dengan kedua UU tersebut, swasta diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis hampir di segala bidang. Sektor swasta ditempatkan sebagai motor penggerak dalam pertumbuhan ekonomi. Dalam pengalaman epmiris di Indonesia peranan negara juga menonjol justru dalam proses liberalisasi. Pertama, dalam mewujudkan perluasan berlakunya mekanisme pasar dan meningkatnya peranan swasta sebagai pelaku ekonomi. Kedua, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi itu sendiri, sebagai pelaku ekonomi, setidak-tidaknya dalam Pembina pelaku ekonomi yang bisa menjadi instrumen kebijakan pemerintah (M. Dawam Rahardjo dalam Rizal Ramli, dkk. 1997: 250).

Target liberalisasi di Indonesia yang paling terasa adalah terkait liberalisasi dibidang industri migas nasional karena selain merombak institusi pengelola energi juga mereformasi dan menyesuaikan harga bahan bakar minyak domestik dengan harga keekonomian pasar dunia. Musuh besar skenario itu adalah subsidi. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah aturan perundang-undangan produk dari agenda Washington Consensus yang masuk melalui letter of intent (LOI) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Internasional Moneterary Fund (IMF). Lembaga moneter internasional itu “mendampingi” Indonesia sejak orde baru berkuasa dan pengaruhnya semakin nyata saat Soeharto secara resmi mengundang IMF untuk “ikut” membantu mengatasi krisis keuangan yang menimpa Indonesia. Krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan 1997 memaksa Soeharto mencari dukungan IMF untuk menyokong neraca pembayarannya yang defisit akibat krisis kepercayaan dan pelarian modal. Komitmen IMF mengucurkan dana sebesar 45 miliar dolar AS disertai sejumlah prasyarat antara lain Indonesia harus menjalankan agenda reformasi ekonomi yang dikenal sebagai program penyesuaian struktural (M Kholid Syeirazi, 2009: 158).




Penutup

Liberalisme yang melahirkan konsep liberalisasi merupakan suatu paham kebebasan yang tumbuh di masyarakat Eropa dalam berbagai aspek. Dalam aspek ekonomi, liberalisasi memunculkan adanya pasar bebas dimana antar negara bebas untuk melakukan pertukaran barang-barang produksi sedangkan dalam aspek politik melahirkan sebuah konsep demokrasi yang menyebabkan masyarakat dapat ikut andil dalam pengambilan keputusan maupun kegiatan perpolitikan. Namun sayangnya konsep ini tidak menguntungkan negara berkembang karena hanya mampu membuat mereka jadi budak negara maju dan tanpa kita sadari kita telah ikut andil didalamnya. Hal tersebut sesuai dengan teori pembangunan developmentalisme dimana negara underdevelopment (negara miskin/berkembang) akan terus digiring menjadi negara development (negara maju) dan sejalan dengan hal tersebut maka negara development akan semakin kuat yang diakibatkan oleh uji coba negara undedevelopment dan sangat disayangkan negara underdevelopment mau dijadikan pelayan kepentingan developed.



Sumber:

Maulana, Zain, Jerat Globalisasi Neoliberal: Ancaman Bagi Negara Dunia Ketiga, Yogyakarta: RIAK 2010

Notonagoro, Wisnu HKP, Neoliberalisasi Mencengkeram Indonesia: IMF, World Bank, WTO Sumber Bencana Ekonomi Indonesia, Jakarta:Sekretariat Jenderal Gerakan Kebangsaan Rakyat Semesta 2011

Ramli, Ramzi, dkk, Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, Yogyakarta: PT Tiara Wacana 1997

Syeirazi, M. Kholid, Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia, Jakarta: LP3ES 2009

Fakih, Mansour, “Neoliberalisme dan Globalisasi.” Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004, 2004, dalam http://al-manar.web.id/bahan/8.%20EKONOMI%20POLITIK/3.%20Neoliberalisme%20dan%20Globalisasi.pdf














No comments: